Selasa, 19 Juni 2012
Pertanyaan:
Di tempat kerja saya, serikat pekerja diambil dari jalur management yang
ditentukan pengusaha, dan KKB yang dibuat semuanya sudah diplot oleh
pengusaha. Bagaimana cara menggugat, dan melalui lembaga apa agar bisa
meluruskan penyimpangan ini? Terima kasih.
Jawaban:
Saudara yang terhormat,
Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami.
Di dalam pertanyaan, Saudara sampaikan antara lain bahwa “serikat pekerja diambil dari jalur manajemen oleh pengusaha”, tapi tidak dijelaskan apakah yang dimaksud “diambil”
tersebut adalah pengurus ataukah anggota serikat pekerja. Dalam jawaban
ini, kami mengasumsikan bahwa yang Saudara maksud adalah Pengurus
Serikat Pekerja.
Kemerdekaan berserikat atau membentuk serikat merupakan salah satu hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 dan juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kedudukan hak berserikat sebagai hak asasi setiap warga negara
menjadikan hak tersebut tidak dapat dicabut atau dikurangi secara
sewenang-wenang baik oleh negara, pemerintah, maupun warga negara
lainnya.
Ketentuan mengenai serikat pekerja (“SP”) secara umum dapat dilihat di dalam Pasal 104 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dan secara khusus di dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UUSP”). Pengertian SP menurut Pasal 1 angka-1 UUSP adalah:
Serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 UUSP tersebut di atas dan dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 3 undang-undang yang sama, maka salah satu asas SP
adalah bebas, yang artinya SP dalam menjalankan hak dan
kewajibannya tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak
manapun, termasuk dari pengusaha. Di samping itu SP juga memiliki asas mandiri
yang berarti SP dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan
organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh
pihak lain di luar organisasi. SP juga memiliki asas demokratis
yang berarti SP dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,
memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan
sesuai dengan prinsip demokrasi (Lihat penjelasan Pasal 3 UUSP).
Pasal 3 UUSP
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab”
Jika
dikaitkan dengan pertanyaan Saudara, maka tindakan “mengambil” pengurus
SP dari jalur manajemen yang dilakukan oleh pengusaha telah melanggar
asas SP yang bebas, mandiri, dan demokratis sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 UUSP. Di samping itu, dalam Pasal 9 UUSP
juga dijelaskan bahwa pembentukan SP harus atas kehendak pekerja/buruh
tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik,
atau pihak manapun. Oleh karenanya, semakin jelas bahwa tindakan
pengusaha “mengambil” Pengurus SP dari jalur manajemen adalah bentuk
intervensi atau campur tangan yang selain melanggar asas SP, juga
melanggar hukum.
Pasal 9 UUSP:
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas
pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah,
partai politik, dan pihak manapun”
Upaya yang
pekerja bisa lakukan terhadap permasalahan/perselisihan hubungan
industrial karena tidak terpenuhinya hak berserikat sesuai ketentuan
UUSP tersebut adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial di Provinsi yang mewilayahi tempat kerja si pekerja. Namun,
sebelum mengajukan gugatan, Pekerja harus terlebih dahulu menempuh
musyawarah (perundingan bipartit) dengan pihak pengusaha dalam waktu 30
(tiga puluh) hari. Apabila dalam waktu tersebut pengusaha tidak mau
berunding atau sudah berunding tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit tersebut dianggap gagal dan pekerja berdasarkan
bukti-bukti bahwa perundingan bipartit gagal, kemudian mencatatkan
perselisihan hubungan industrial tersebut kepada instansi
ketenagakerjaan, dalam hal ini Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang melingkupi/membawahi wilayah tempat kerja si pekerja, untuk
diselesaikan melalui perundingan tripatit. Apabila dalam perundingan
tripartit juga tidak ditemukan kesepakatan, maka mediator (apabila
perundingan dilakukan melalui mediasi) akan menerbitkan anjuran tertulis
yang dijawab masing-masing pihak, baik pekerja maupun pengusaha dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari. Apabila pekerja maupun pengusaha tidak
menjawab atau menolak anjuran tertulis dari mediator tersebut, maka
pekerja atau pengusaha dengan melampirkan anjuran terulis tersebut dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Jenis gugatan perselisihan hubungan industrial yang dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah gugatan mengenai:
a. Perselisihan hak,
yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
b. Perselisihan kepentingan;
yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja,
yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak; dan
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan;
Oleh karena
Pekerja tidak dapat menjalankan haknya untuk berserikat sebagaimana
diatur dalam UUSP disebabkan tindakan pengusaha “mengambil” pengurus
dari jalur manajemen, maka gugatan jenis gugatan yang dapat diajukan
adalah gugatan perselisihan hak. Gugatan tersebut dapat diajukan oleh si
pekerja sendiri, atau dikuasakan kepada kuasa hukum (Advokat), atau
dikuasakan kepada Pengurus SP apabila si pekerja menjadi Anggota SP.
Gugatan diajukan ke bagian pendaftaran gugatan di kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah tempat kerja Pekerja. Sebagai
tambahan informasi bahwa untuk gugatan yang nilai gugatannya di bawah
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), maka tidak
dikenakan biaya pendaftaran, biaya persidangan, maupun biaya eksekusi.
Mengenai bagaimana teknis pemeriksaan di persidangan Pengadilan Hubungan
Industrial, Saudara dapat melihat lebih lanjut di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UUPPHI”) dari Pasal 81-Pasal 112.
Selain dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, pekerja juga bisa
melaporkan permasalahan tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan di
wilayah tempat kerja si pekerja untuk meminta agar si pengusaha tersebut
diperiksa. Selain itu, pekerja juga dapat melaporkan atau mengadukan
dugaan pelanggaran atas hak berserikat ini kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia yang beralamat di Jalan Latuharhary
No. 42B, Menteng, Jakarta Pusat. Di samping itu pula, apabila pekerja
mempunyai bukti yang cukup mengenai adanya tindakan pengusaha yang
menghalangi-halangi pekerja untuk menjadi pengurus atau anggota serikat
pekerja dengan cara-cara mengintimidasi dan tekanan lainnya, pekerja
dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak Kepolisian. Tindakan tersebut
diatur di dalam Pasal 28 UUSP yang menyatakan:
“Siapapun
dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk
atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus,
menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau
tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.”
Ancaman hukuman atas tindakan tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 ayat (1) UUSP
adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Sedangkan,
terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai Pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama/Kesepakatan Kerja Bersama (PKB/KKB) yang sudah diplot oleh
pengusaha, maka yang menjadi acuan untuk menjawabnya adalah ketentuan Pasal 116-Pasal 135 UUK. Ketentuan ini dijabarkan lagi secara teknis dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenakertrans No. 16 Tahun 2011). Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUK dan Pasal 12 ayat (3) Permenakertrans No. 16 Tahun 2011, penyusunan PKB/KKB harus dilaksanakan melalui perundingan secara musyawarah mufakat antara serikat pekerja dengan pengusaha. Lebih lanjut, di dalam Pasal 12 ayat (2) Permenakertrans No. 16 Tahun 2011
dinyatakan bahwa perundingan tersebut harus didasari iktikad baik dan
kemauan bebas kedua belah pihak. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan
tersebut, menurut kami, apabila SP merasa atau mempunyai bukti bahwa
penyusunan PKB/KKB tidak dilaksanakan melalui perundingan secara
musyawarah dan pengusaha mempunyai iktikad tidak baik, serta melakukan
intimidasi selama proses pembuatan PKB/KKB, maka SP dapat mengajukan
gugatan dengan judul “perselisihan kepentingan” ke Pengadilan Hubungan
Industrial dengan sebelumnya menempuh upaya perundingan bipartit dan
perundingan tripartit dengan cara-cara sebagaimana yang sama sebagaimana
telah kami sampaikan dan uraikan di atas.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
4. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/XI/2011
Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta
Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar